Pada pertengahan Oktober 2017, muncul isu tentang aset milik DKI Jakarta yang nilainya mencapai Rp. 10 Triliun Rupiah dilaporkan harus ditindak lanjuti. “Dua atau tiga tahun lalu, ada hasil sensus aset. Pemprov DKI harus menindaklanjuti aset sekitar 10 triliun karena keberadaannya belum ditemukan,” ujar Kepala BPK Perwakilan DKI, Syamsudin. Menanggapi kondisi tersebut, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan segera melakukan tindakan untuk segera melakukan pencatatan aset untuk mendapatkan status WTP (Wajar Tanpa Pengecualian) dari BPK dengan menunjuk Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno untuk memimpin pencatatan aset tersebut. Pencatatan aset tersebut saat ini sedang berjalan. Pada akhir Oktober 2017, menurut berita yang tayang pada media kompas, aset tanah sudah 100% terdata dan aset bangunan sudah 99,5% clear.
Melihat respon yang dilakukan oleh Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta dalam menanggapi isu ini, kami melihat potensi pengelolaan dan pengembangan aset, bahkan kota, yang dapat dilakukan oleh Pemerintah DKI Jakarta dengan menambahkan aspek spasial dalam perencanaan dan pengelolaannya. Ketika proses pencatatan aset yang dilakukan Pemerintah DKI Jakarta sudah selesai, maka DKI Jakarta sudah dapat memetakan persebaran asetnya. Pemetaan aset dimana mengubah data aset menjadi data spasial/data keruangan. Data spasial merupakan tipe data yang dapat ditampilkan dalam sistem informasi geografis (SIG).
Pengembangan Aset, melihat dari aspek spasial, erat hubungannya dengan rencana tata ruang yang dikeluarkan oleh Dinas Tata Kota setempat. Perencanaan tata ruang daerah, atau disebut Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) sudah memberikan informasi keruangan yang menyeluruh. Informasi seperti zona pemanfaatan, KDB (Koefisien Dasar Bangunan), KLB (Koefisien Luas Bangunan) serta KDH (Koefisien Dasar Hijau) dapat memberikan perspektif lebih dalam aspek spasial. Terkadang, informasi seperti ini yang masih luput dari pengamatan atau analisa pengelola lahan dan bangunan.
Informasi kondisi aset lahan dan bangunan saat ini, jika di-overlay dengan informasi rencana tata ruang wilayah, dapat menunjukkan apakah lahan dan bangunan yang dikelola sudah termanfaatkan dengan baik atau belum. Hal ini dapat dilihat dari selisih penggunaan lahan existing dengan potensi pemanfaatan ruang yang dimiliki lahan tersebut. Misalnya, kondisi saat ini bangunan existing merupakan Perkantoran 2 Lantai, sedangkan jika dilihat dari RTRW nya, seharusnya pada posisi tersebut bisa dibangun bangunan setinggi 10 lantai. Apalagi jika ditambah dengan informasi nilai bangunan dan kondisi sekitar bangunan, maka informasi tersebut dapat menjadi dasar analisis untuk pengembangan aset lahan dan bangunan yang menunjang perkembangan kota DKI Jakarta.
(Gusmilan Pratiantono, Geospatial Technology Consultant PT. Vivastor Techno Logica)